Stop 8 Toxic Masculinity ini Dalam Mengasuh Anak Laki-laki




Sejak kecil, kita mungkin sering mendengar kalimat seperti, “Anak laki-laki, kok, nangis? Laki-laki macam apa itu?” atau,  “Masa nggak berani, sih? Ayo lawan! Jangan mau kalah. Malu-maluin,”atau, “Kamu kalem banget, sih, kayak anak cewek aja. Laki-laki, tuh, harus berani nakal.”
 
Tanpa disadari, apa yang kita dengar dari orang-orang di masa kecil itu mungkin lama kelamaan terpendam dan mewujud menjadi bagian karakter kita sendiri. Dalam pikiran kita, jadi laki-laki, ya, harus seperti itu tadi. Tak jarang, tanpa disadari juga, kalimat-kalimat yang sama kita ulangi pada anak laki-laki kita saat kita menjadi orang tua.
 
Padahal, sebetulnya apa yang kita dengar dan mungkin yang tanpa sadar kita teruskan tersebut termasuk ke dalam toxic masculinity. Toxic masculinity merujuk pada tekanan atau tuntutan kepada laki-laki mengenai cara mereka harus berperilaku atau bersikap di dalam budaya patriarki. Dalam toxic masculinity, ada patokan yang dianggap ‘laki-laki banget’ serta yang ‘nggak laki-laki banget’.
 
Nah, maskulinitas yang toksik ini secara umum berisi pandangan yang melanggengkan bahwa seorang laki-laki harus agresif, kuat, bisa memimpin atau punya dominasi, serta emotionless. Dalam toxic masculinity, emosi dianggap feminin sebagai lawan sesuatu yang ‘laki-laki banget’ tadi.
 
Toxic masculinity bisa membuat seorang anak laki-laki merasa gagal ketika mereka tak bisa memenuhi tuntutan yang ekstrem tersebut. Sehingga, hal ini tentu bisa memengaruhi kesehatan mental mereka. Tak hanya itu, toxic masculinity tentu juga akan memengaruhi relasi anak laki-laki kita dengan pasangannya kelak saat mereka dewasa.
 
Apa saja contoh toxic masculinity yang harus kita hentikan dalam mengasuh anak laki-laki kita mulai sekarang?
 

1. “Anak laki-laki nggak boleh nangis!”
Mengapa seorang anak laki-laki tidak boleh menangis? Emosi sedih atau kekecewaan yang dikeluarkan dengan tangisan sepenuhnya adalah hal yang wajar. Fiona Forman, MSc., fasilitator psikologi positif terapan dan penulis Welcome to Well-Being – Book A: Meet Mo & Ko mengatakan bahwa melarang anak menangis akan menghambat perkembangan emosional mereka. Anak-anak akan jadi kesulitan mengidentifikasi serta mengelola emosi mereka. Bila hal seperti ini terus berlanjut, kesehatan mental mereka akan terganggu.
 
Baca juga: Menghadapi Anak Sensitif yang Mudah Menangis
 


2. “Anak laki-laki, kok, penakut, sih! Nggak boleh takut! Harus berani!”
Ketakutan adalah hal yang wajar dimiliki oleh setiap orang. Justru, rasa takut dalam artian positif bisa membuat seseorang jadi lebih waspada serta berhati-hati.
 
Joanna Schroeder, penulis feminis yang merupakan penulis rekanan Western States Center Resource Guide For Parents On The Subject Of Teaching Children Media Literacy In The Age Of Modern American Extremism mengatakan bahwa keberanian sering disalahpahami sebagai tidak pernah takut. Itulah yang terjadi dalam pandangan maskulinitas yang toksik.
 
Padahal, sebetulnya yang dianggap pemberani bukanlah orang yang tak punya ketakutan, melainkan mereka yang mau mengambil tantangan penting di hidupnya dengan penuh pertimbangan dan kehati-hatian.
 

3. “Laki-laki, kok, nggak pernah berantem? Ayo lawan saja!”
Toxic masculinity menempatkan laki-laki sebagai manusia yang harus agresif. Apakah ini baik? Anak-anak harus belajar cara menyelesaikan masalah dengan diplomatis. Anak-anak juga harus diajarkan cara membela diri sendiri dengan tepat. Bila hal seperti ini terus dilanggengkan, mereka akan menjadi orang yang mungkin melakukan tindak kekerasan.
 
Baca juga: Saat Anak Punya Musuh
 

4. “Lho, kok, ketua kelas/regu/timnya perempuan? Masa laki-laki dipimpin sama perempuan?”Jiwa kepemimpinan adalah sebuah anugerah yang dimiliki oleh seseorang. Tak semua orang, baik laki-laki maupun perempuan memiliki aspek yang kuat dalam kepemimpinan.
 
Yang perlu diajarkan kepada anak laki-laki bukanlah mereka harus mampu menjadi pemimpin, melainkan mampu memimpin. Sebab, ketika kita mendorong mereka harus menjadi pemimpin tanpa membuat mereka mampu memimpin, yang ada malah mereka akan menjadi orang yang mendominasi.
 
Bila kebiasaan ini terus berlanjut, mereka akan merasa harus terus diikuti dan dituruti bahkan dalam hubungan dengan pasangannya kelak. Mereka akan sulit menerima kesetaraan dalam menjalankan sebuah hubungan.
 
Baca juga: Dampak Membeda-bedakan Anak Laki-laki dan Perempuan bagi Tumbuh Kembangnya.
 

5. “Jangan mau kalah, dong!”
Anak-anak juga perlu mengalami kekalahan agar mereka belajar mengenali kelemahannya serta kelebihan lawannya. Kekalahan dianggap dapat merusak maskulinitas seorang laki-laki.
 
Anak-anak yang terus dituntut untuk menang menurut Kenneth Barish, Ph.D., Profesor Psikologi Klinis di Weill Medical College, Cornell University akan beranggapan bahwa kemenangan adalah segalanya dan mereka akan berbuat segala hal demi kemenangan.
 
“Mereka berikutnya juga bisa jadi terlibat dalam ekspresi kemenangan seperti membanggakan atau menyombongkan diri serta mengejek yang lain,” ujarnya. Di pihak sebaliknya, ia menuturkan bahwa anak yang kalah sering kali merasa frustrasi, cemas, dan kecewa. Ini tentu tidak sehat untuk kesehatan mental mereka.
 

6. “Laki-laki, kok, nggak bisa olah raga!”
Banyak orang yang berpikir bahwa pria sejati harus jago olah raga. Tidak, kok. Setiap anak memiliki bakat dan minat masing-masing. Memaksakan anak yang minatnya ada di bidang sains, teknologi, seni, atau Bahasa untuk menyukai bidang olah raga sama saja seperti mengurung singa dalam kandang. Hal ini akan membuat mereka tidak mengenal diri mereka sendiri dan tidak mampu mengoptimalkannya kemampuannya.
 

7. “Laki-laki, kok, baper banget. Kayak perempuan saja!”
Toxic masculinity seolah mengharamkan laki-laki untuk menunjukkan perasaan. Paradigma bahwa laki-laki harus tabah, kuat, dan tidak emosional ini bisa bersifat sangat destruktif. Menurut survei yang diakan oleh National Suicide Research Foundation pada 2016, angka bunuh diri laki-laki di Irlandia empat kali lebih tinggi dibanding perempuan di sana, dengan didominasi oleh usia 20-24 tahun.
 

8. “Laki-laki, kok, sakit, sih!”
Sakit tidak pandang jenis kelamin. Toxic masculinity menganggap sakit sangat tidak macho. Pandangan yang toksik ini dapat membuat anak laki-laki tidak memiliki kepedulian atau perhatian lebih pada tubuhnya. Mereka seolah harus terus berolahraga ketika terluka, harus tetap beraktivitas bahkan ketika sakit. Hal ini tentu berbahaya karena setiap manusia memiliki batas fisik.
 
Penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Health and Social Behavior menunjukkan bahwa hanya setengah dari laki-laki yang memegang teguh maskulinitas yang mendapatkan perawatan kesehatan daripada laki-laki dengan keyakinan tentang maskulinitas yang lebih moderat.
 
 
Baca juga:
7 Hal Penting Ini Perlu Papa Contohkan Kepada Anak Laki-Lakinya
Membesarkan Anak Laki-Laki Berkarakter
Beda Bullying pada Anak Laki-laki dan Perempuan
5 Ciri Toxic Parent
4 Tipe Orang Tua Dilihat dari Caranya Merespons Emosi Anak
 
 
LTF
FOTO: FREEPIK


 


Topic

#keluarga #parenting #parentingstyle #pengasuhan

 





Video

Lindungi Anak dari Kejahatan Pedofilia


Polling

Stop 8 Toxic Masculinity ini Dalam Mengasuh Anak Laki-laki

Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia