Anak dan Remaja Rentan Depresi, Kenali Gejalanya

mengapa anak dan remaja rentan depresi


Sudah banyak yang membahas bahwa pandemi selama 2 tahun ini menyebabkan banyak orang mengalami stres dan depresi. Tidak hanya orang dewasa, anak-anak dan remaja pun rentan mengalaminya.  Sekolah online di rumah selama ini kerap dianggap sebagai salah satu pencetus remaja mengalami depresi. Benarkah demikian?
 
Menurut psikolog Anastasia Satriyo, M.Psi., Psi., sebenarnya bukan soal online learning-nya saja, tetapi rutinitas yang berubah ikut andil mencetus depresi pada anak dan remaja. “Yang tadinya mereka bisa nongkrong-nongkrong bersama teman-teman, sekarang (selama pandemi) tidak bisa. Kebahagiaan anak waktu sekolah, kan, antara lain bisa nongkrong di kantin bersama teman-teman. Sekarang juga masih tidak banyak keleluasaan di luar rumah, sementara remaja butuh bergerak, supaya mereka bisa feels good for themselves. Masalahnya, tiap keluarga juga memiliki situasi rumah berbeda-beda. Semua itu berpengaruh pada regulasi dan rutinitas anak,” papar Anas.
 
Baca juga: Pandemi Memengaruhi Kesehatan Mental Anak
 
Otaknya Belum Matang
Dalam rentang usia berapa pun, sebenarnya anak-anak dan remaja sangat mungkin mengalami depresi. Hal ini disebabkan oleh belum matangnya otak mereka.  Jika Anda berpikir usia 18 tahun adalah gerbang kematangan seseorang, Anas mengungkap bahwa kematangan otak manusia itu sebenarnya baru akan terjadi di usia 25 tahun.
 
Belum matangnya otak menyebabkan perubahan emosi atau mood anak remaja itu wajar terjadi. Yang perlu diwaspadai adalah jika hal ini sudah mengarah pada depresi. Bagaimana kita tahu dia sudah mengalami depresi?
 
Menurut Anas, paling gampang adalah mengecek frekuensi, intensitas, dan durasi perubahan perilakunya. Misalnya anak tidak mau keluar kamar, hanya tidur terus, sehari bisa tidur sampai 18 jam, dan itu terjadi selama berhari-hari, Anda perlu waspada. Atau, bisa juga dia sedang patah hati, lalu menangis terus-menerus selama 2 minggu, kita harus waspada itu bukan emosi biasa.
 
Baca juga: Memahami Emosi Naik-Turun Anak Remaja
 
Kenali Faktor Risikonya
Apakah ada anak-anak yang memiliki kerentanan lebih besar mengalami depresi? “Faktor risiko itu adalah tipe temperamen anak dari kecil. Ada anak yang dari kecil memang highly sensitive, dia sulit menghadapi perubahan, karena mungkin mengalami kendala-kendala waktu bayi. Atau anak-anak yang waktu kecil picky eater, karena mereka memiliki rasa tidak berharga. Di masa kecil yang sulit bagi dirinya itu yang membuat anak-anak ini menjadi lebih rentan. Lalu, secara emosi (perlu diketahui) apakah ada faktor genetik kecemasan, atau anger issue,” papar Anas.
 
Kondisi orang tua ternyata juga menyumbang faktor risiko anak rentan mengalami depresi, karena  kualitas relasi mereka maupun status pekerjaannya bisa memengaruhi self esteem anak. Dalam hal relasi yang tidak harmonis, orang tua bisa saja menjadikan anak sebagai samsak emosi. Karena itu, kita harus bisa membedakan peran sebagai suami istri dan peran orang tua dalam hubungannya dengan anak.
 
Orang tua yang tidak memproses isu inner child dalam dirinya juga bisa berpengaruh kepada anaknya.  Apa yang terjadi sebenarnya? Masa remaja anak ternyata bisa memicu munculnya inner child yang merupakan isu dalam diri orang tua.  Dulu, ketika remaja, bisa saja orang tua merasa tidak ada yang memahami dan mendengarkannya, yang akhirnya menjadi luka batin.
 
Ketika anak beranjak remaja, ia tidak mau mendengar orang tua, inner child itu muncul ke permukaan. Orang tua menjadi marah sekali ketika tidak didengarkan oleh anak. Jadi bisa dibayangkan kondisinya, saat emosi si anak remaja sudah intens, sementara orang tuanya merespons dengan sangat tidak santai karena terbawa emosi. Kemarahan orang tua ini bisa menjadi badai topan yang membuat si remaja makin terpuruk atau bertingkah makin menyebalkan bagi orang tuanya.

Baca juga: 4 Tipe Orang Tua Dilihat dari Caranya Merespons Emosi Anak
 
3 Perasaan Yang Dominan
Ketika mengalami depresi, seseorang bisa merasa seperti tengah berada di dalam lorong gelap, yang tidak ada ujung dengan titik cahaya. Ada 3 faktor perasaan yang dominan.

  1. Merasa diri sebagai beban.
  2. Tidak ada yang mengerti.
  3. Sendirian.
Anas menjelaskan, dalam skala intensitas 1-10, maka ketiga faktor itu berada di skala 8-10. Ketiganya sangat memicu depresi. Dan, ini subjektif. Anda merasa sesuatu itu beban atau tidak, kan, subjektif. Sulitnya, tidak selalu semua itu terlihat dalam ekspresi dan perilaku. Bisa saja anak terlihat ceria atau biasa-biasa saja. Banyak kasus, orang yang tampak gembira, suka bergurau, ternyata menyimpan depresi yang bisa berujung fatal.
 
“Makanya, tidak bisa kita bilang anaknya ceria-ceria saja, anaknya pintar, kok. Kita harus bertanya ke dirinya,” saran Anas. Artinya, kepekaan orang tua dalam melihat tiap kondisi anak adalah wajib dilakukan.
 
Ketika merasa menjadi beban, anak bisa berpikir bahwa jika dirinya tidak lahir, orang tuanya tidak akan bermasalah atau berkonflik, misalnya. Bagi otak remaja yang  belum matang, itu beban sekali, hingga dia bisa berpikir soal nihilisme.
“Pemikiran bunuh diri itu ada yang pasif dan aktif.  Yang biasanya kita anggap enteng itu yang pasif. Seperti misalnya, dia mengatakan bahwa enak jika besok bangun pagi dia sudah nggak ada di dunia ini, dia ingin menghilang, ingin pindah ke planet lain, ingin menjadi orang lain atau berada di tubuh orang lain. Nuansa-nuansanya subtle (halus, tidak langsung) dan dia ngomongnya santai saja. Kalau kita sudah aware kesehatan mental, itu titik red alarm. Sudah nggak biasa,” kata Anas.

Baca juga: 18 Kesalahan Mendidik Anak yang Berbahaya untuk Kesehatan Mentalnya
 
Bantu Anak Bangkit
Lalu, apa yang harus kita lakukan kalau tanda-tanda itu mulai muncul?  
 
1.Terima perasaannya. Hindari menghakimi, memarahi, atau menunjukkan sikap meremehkan dirinya.
 
2.  Lakukan reflective communication. Komunikasi reflektif, berbicaralah dengan empati dan nada dalam. Perasaannya adalah yang utama atau menjadi fokus Anda. Katakan bahwa Anda merasakan apa yang dia rasakan, dan dia boleh berbagi rasa itu tanpa ragu, bahkan ketika ia mengatakan ingin 'hilang', karena Anda akan mendengarkan dirinya.
“Tapi, orang tua mana, sih, yang tahan anaknya ngomong (ingin ‘hilang’) seperti itu? Yang sering saya temukan, orang tua malah masuk ke emosi dia sendiri. Langsung ‘lempar’ ke anaknya dengan mengatakan, ‘Kamu nggak kasihan sama Mama dengan berpikir seperti itu?’ Ternyata, walaupun maksud orang tua itu baik, dengan otak emosinya anak akan memaknainya seperti, ‘Aku sudah menderita saja masih disuruh mikirin perasaan Mama. Siapa yang peduli perasaanku?’” kata Anas.
 
3.Bangun relasi dengan anak. “Karena kalau langsung reasoning, seperti, “Kamu ngapain kayak begitu? Kan, Tuhan kasih cobaan nggak pernah melebihi kapasitas umatnya!” itu tidak akan masuk ke dalam pemikirannya,” kata Anas. Membangun relasi berarti Anda perlu menerapkan poin 1 dan 2 di atas.
 
4. Ajak anak membuat jadwal rutinitas. Di masa pandemi ini, salah satu sumber depresi anak adalah rutinitas yang berubah dan tidak terarah. Padahal, anak-anak perlu regulasi dan rutinitas. Nah, ketika anak sudah mulai masuk sekolah seperti saat ini, rutinitasnya kembali harus berubah. Pada dasarnya, otak manusia butuh hal yang diprediksi. Ajak anak menyusun rutinitas dan aktivitas apa yang perlu dia lakukan sehari-hari. Sehingga ia tidak merasa semua saling tumpang tindih, yang semakin menjadi beban untuknya.   
 
5. Ajak anak melakukan hobinya. Tapi, lakukan pelan-pelan, karena, kata Anas, bagi anak-anak remaja yang mulai mengalami depresi, bahkan untuk 3 jam beraktivitas lelahnya luar biasa.
 
6. Ajarkan anak mengenali dan menamai emosinya. Tekankan bahwa it’s OK to feel not OK. Karena anak-anak sekarang serba digital, Anda bisa mengajaknya menggunakan aplikasi yang bisa tracking (menelusuri) mood-nya dan setelah 14 hari bisa memberikan laporan. Paling tidak, kalau tidak menemui pakar profesional, ada data yang lebih valid untuk membantu anak mengenali mood-nya.
 
Baca juga: Cara Bantu Anak Kenali Emosi
 
7. Kenalkan cara self care. Ajak anak menyadari apa saja kelebihannya, sekecil apa pun. Hindari membandingkannya dengan orang lain. Ajari pernapasan ringan dan relaksasi. Lakukan bersama-sama, sehingga dia tidak merasa sendiri dan tahu bagaimana melakukannya. Jika Anda sendiri tidak tahu bagaimana cara yang tepat, cari panduan relaksasi dan pernapasan di YouTube.   
 
8. Bergerak, olahraga. Dengan bergerak, tubuh akan mengeluarkan hormon endorphin yang mengurangi rasa sakit dan memberikan energi positif (bahagia). Biarkan dia memilih olahraga atau aktivitas fisik kesukaannya.
 
9. Makan yang sehat. Ini penting, karena pola makan sehat dengan gizi seimbang tidak hanya memengaruhi kesehatan dan imunitas, namun juga mood. Perbanyak minum air putih.
 
10. Tidur cukup. Saat ini rutinitas remaja menjadi tidak ideal. Banyak yang begadang karena banyak main games atau berkutat dengan gadget-nya. Sehingga, waktu tidurnya berkurang. Kurang tidur bisa memengaruhi mood juga. Pada anak yang mengalami depresi, bisa saja dia jadi lebih banyak tidur. Namun, jika dia sudah mulai sering ditemani dan diajak melakukan aktivitas-aktivitas lain, dia bisa mulai memperbaiki pola tidurnya juga.
 
11. Konsultasi dengan profesional (psikolog). Sebaiknya Anda tidak merasa paling memahami anak dan bisa mengatasi sendiri semuanya. Minta bantuan pakar profesional adalah solusi yang baik. Psikolog  bisa membantu anak dan orang tuanya mengatasi depresi, menjadi jembatan bagi keduanya. Karena, kemungkinan, anak merasa bisa lebih terbuka kepada psikolog ketimbang orang tuanya. Di sisi lain, anak akan merasa orang tuanya memahami kebutuhannya dengan mencarikan pakar yang bisa menolong dirinya.
 
Baca juga:
8 Cara Menjaga Kesehatan Mental Anak
Orang Tua Bahagia, Kunci Kesehatan Mental Anak
Pandemi Belum Usai, Ini 5 Cara Jauhkan Anak-anak dari Stres
Masalah Pertemanan, Sumber Stres Utama Anak
4 Ciri Anak Stres Selama Pandemi
 
grc
Foto: Freepik

 


Topic

#usiasekolah #parenting #parentingstyle #pengasuhan #kesehatanmentalanak

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia