Memahami Emosi Naik-Turun Anak Remaja




Mungkin Anda pernah berpikir beratnya menjadi orang tua adalah saat harus begadang karena bolak-balik menyusui dan mengganti popok bayi Anda. Atau ketika ia memasuki usia balita, Anda harus selalu waspada dan menjauhkan semua benda-benda kesayangan atau berbahaya dari jangkauannya, atau menghadapi tantrumnya saat ia tidak diizinkan membeli mainan dan es krim.
 
Tunggu sampai anak masuk ke usia praremaja dan remaja, ya, Ma dan Pa…. Anda akan menemukan fase ini adalah fase yang akan menguras simpanan kesabaran, kekuatan mental, dan energi Anda. Ia seperti benar-benar sedang menguji mental Anda to the max!
 
Emosinya naik-turun dengan sangat mudah, Anda mungkin bingung melihatnya. Pagi hari uring-uringan, sorenya maniiis banget. Masalah kecil, jadi besar. Dia juga sering mengabaikan omongan Anda, maunya membantah apa pun yang Anda katakan, punya persepsi sendiri yang bagi Anda tidak tepat bahkan tidak masuk akal, suka mengurung diri dan lebih percaya omongan teman-temannya atau orang lain, dan responsnya menjadi nyebelin, ketus, judes terhadap Anda. Itu baru sebagian, lho…. Dan, akhirnya, drama sekian babak antara Mama-Papa dan si remaja pun terjadi.
 
Baca juga: 4 Strategi Mendisiplinkan Anak Praremaja
 
Otaknya Masih ‘Under Construction’
Apa yang sebenarnya terjadi pada remaja? Menurut psikolog Anastasia Satriyo, M.Psi., Psi., emosi naik-turun dan tingkah ‘nyebelin’ remaja itu tidak lepas dari otaknya yang belum matang. “Otaknya sedang ‘under construction’. Dan otak baru akan matang sekali di atas usia 20 tahun, persisnya di usia 25 tahun, dengan catatan dilatih dan distimulasi,” kata Anas.
 
Ia mengibaratkannya dengan (membangun) rumah; ada kamar mandinya, tapi belum bisa dipakai. Karena belum matang, kemampuan remaja dalam memahami emosi dan toleransi stres jika terjadi sesuatu, belum cukup baik. “Mereka butuh 10 hari untuk kembali ke fase biasa. Sementara, orang dewasa hanya membutuhkan 3 hari untuk bisa bounch back. Jadi, by software, memang tidak kuat di masa remaja untuk menghadapi perubahan-perubahan yang intens,” papar Anas.
 
Pandemi COVID-19 ini menjadi tantangan yang cukup berat untuk mereka, karena banyak perubahan intens terjadi. Rutinitas mereka berubah dan ruang gerak mereka menjadi sangat sempit. Di awal-awal pandemi, bahkan mereka benar-benar harus di rumah saja, tidak bisa ke mana-mana. “Dari jurnal yang saya baca, pandemi ini paling mengganggu kesehatan mental anak usia 10-18 tahun, lalu juga untuk rentang usia 18-25,” kata Anas.
 
Karena itu, masa remaja ini bisa dikatakan merupakan masa kritis. “Badannya sudah gede, tapi otaknya masih under construction. Dan bahkan si remajanya juga nggak mengerti dengan apa yang terjadi pada dirinya. Di saat yang sama, sebenarnya orang tua juga mengalami perubahan. Apakah sudah masuk menopause atau mereka adalah generasi sandwich, misalnya. Jadi hubungan orang tua dan anak selalu dinamis, karena sama-sama berubah. Karena itu, dua-duanya mesti belajar,” kata Anas.
 
Baca juga:
6 Kesalahan Mendidik Anak Remaja Perempuan
7 Kesalahan Mendidik Anak Remaja Laki-Laki
 
Komunikasi Reflektif
Ketidakmatangan otaknya menyebabkan perilaku impulsif pada remaja. Mereka juga rentan mengalami depresi. Ada banyak kasus remaja melukai diri sendiri, mengalami gangguan makan, dan mulai berpikir untuk bunuh diri. Bahkan, itu bisa terjadi karena alasan yang dianggap sepele atau ‘terlalu drama’ oleh orang dewasa.
 
Ketika anak dalam kondisi emosi kacau, atau bahkan saat sudah melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya dan sudah masuk fase depresi, hindari penghakiman terhadapnya. Jangan anggap dirinya dan apa pun yang dipikirkan atau dilakukannya itu sepele. Yang diperlukan oleh si praremaja dan remaja adalah rasa aman secara emosi, merasa dipahami dan didukung, terutama oleh kedua orang tuanya. Untuk menghadapi dan memahami si remaja, menurut Anas, mau tidak mau orang tua perlu belajar teknik berkomunikasi yang tepat, yakni komunikasi reflektif.   
 
Seperti apa, sih, komunikasi reflektif itu? Pada dasarnya, dalam komunikasi reflektif, perasaan anak divalidasi terlebih dahulu. Perasaan anak menjadi hal penting. Bukan berarti orang tua pasti harus setuju dengan apa yang dikatakan atau dilakukan anak, namun, komunikasi reflektif dilakukan untuk terhubung dengan anak dan sensitif terhadap apa yang dialaminya, sehingga anak merasa dipahami. Anas mencontohkan komunikasi reflektif, Anda bisa mengatakan ini: “Oke, Mama tahu nggak enak banget, ya, perasaanmu. Kira-kira Mama dan Papa bisa bantu apa, supaya kamu bisa merasa lebih enakan?”
 
Baca juga:
Kalimat Efektif Berkomunikasi dengan Anak (Part 1)
Kalimat Efektif Berkomunikasi dengan Anak (Part 2)
 
Jangan Baper, Pahami Dunianya
Mungkin Anda sudah berkali-kali mengingatkan remaja Anda akan satu hal. Tapi apa pun yang Anda bicarakan seperti angin lalu, tidak didengarnya. Diajak ngomong berkali-kali, dia tidak ingat. Eh, begitu nonton film Korea atau lagu yang dia suka, dia gampang ingat. Atau, nasihat yang sama dari mamanya dia dengar juga di podcast idolanya, yang di podcast-lah yang diingat! “Mamanya ‘nggak laku’. Kalau kita nggak memahami kondisi anak, kita jadi baper,” kata Anas.
 
Lagi-lagi, lanjut Anas, proses perubahan otak adalah penyebabnya, selain pengalaman anak dengan orang tuanya, terutama mamanya, itu sudah terlalu lama, jadi cenderung dia abaikan. “Makanya, kalau ada produk baru, bagi remaja itu kayak ‘wow banget’. Otaknya seperti terpesona, hal baru yang dia temukan itu jadi menarik, padahal isinya sama dengan yang diomongin mamanya,” kata Anas.
 
Karena itu, di fase ini role models atau figur tertentu yang baik itu bisa membantu dirinya. Alih-alih merasa kecil hati dan merasa ‘nggak laku’ karena dia lebih mau mendengarkan orang lain, kita bisa menggunakan role models ini untuk terhubung dengannya dan menjadi pintu masuk untuk memberinya saran-saran. “Anak-anak remaja itu suka dapat info-info soal kesehatan mental dari artis-artis Korea dan lagu-lagu BTS. Kalau kita yang ngomongin, mereka belum terlalu ngeh. Tapi, kalau idolanya yang bicara, dia paham dan setuju. Itulah pentingnya role models, dan kita jangan berpikir kita berkompetisi dengan role models anak remaja kita. Jadikan itu bahan obrolan. Kita playing humble: belajar dari dirinya. Di sisi lain anak juga akan merasa ‘Wah, mamaku tahu segalanya, lho.’”
 
Baca juga:
Lakukan Ini Bila Anak Terobsesi Tokoh Film Idolanya
Pentingnya Anak Remaja Menerapkan Mindful Eating
Anak Praremaja Pacaran, Orang Tua Lakukan 3 Hal Penting Ini!
Trik Jadi Papa Andalan Si Praremaja
 
Gracia Danarti
Foto: Freepik

 


Topic

#usiasekolah #parenting #parentingstyle

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia